Kippy Bengkulu

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM MENURUT ADAT SEMENDE


11.08 |

Masyarakat adat suku Semende Marga Ulu Nasal Di Desa muara Dua, merupakan komunitas adat yang masih arif dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di wilayahnya. Kearifan dan pengetahuan lokal tersebut telihat ketika dalam pemilihan lokasi hutan yang akan dikelolanya, dan mereka sadar bahwa lahan yang sudah dibuka harus di hutankan kembali yaitu dengan menananam tanaman keras dan secara fungsi ekologisnya sama dengan tumbuhan hutanDalam sistem pengelolaan sumber daya alam masyarakat ini telah menerapkan sistem pengelolaaan sumber daya alam yang berorentasi pada kepentingan lokal/adat yang tinggal di dalam dan atau disekitarnya yang menerapkan kelestarian dan daya dukung lingkungan, yaitu pola pengelolaaan sumber daya alam yang berasaskan pada prinsip-prinsip Sustainabillity. Masyarakat suku semende juga mempunyai ciri mungkin sama dengan masyarakat Adat lainnya Umumnya Sumatera dalam pengelolaan SDA setiap pembukaan lahan meraka mengikuti pola dari kebun, menjadi Talun dan akhirnya sampai hutan lagi lalu mereka tinggalkan mereka akan membuka lahan baru lagi yang mereka anggap masih subur dalam wilayahnya tersebut, tapi suatu saat mereka akan kembali lagi ketempat yang tadinya mereka hutankan untuk membuka dan mengelolanya begitu seterusnya.

Berdasarkan pola-pola pemanfaatan SDA diatas masyarakat adat semende ini membagi atas jenis hutan :
1. Hutan larangan (Hutan Lindung Adat)
Bagi penduduk desa muara dua suku semende lembak, hutan yang merupakan tempat mata air dilarang dibuka karena kepercayaan mereka bahwa daerah tersebut daerah ulu tulung buntu dimana di tempat itu tempat bermukim makhluk halus/gaib. Bila tempat tersebut dibuka maka makluk halus akan menyerang sipembuka beserta anggota keluarganya serta akan mendapat celaan dari masyarakat adat yang mengetahuinya.
2. Hutan cadangan (Kawasan keloala Rakkyat)
Hutan ini warisan nenek moyang yang mempunyai telah mempunyai hak milik dan diperuntukan bagi anak cucu mereka.

3. Hepangan (Repong)
Hepangan adalah luasan lahan yang ditanami berbagai jenis tanaman buah seperti durian, duku, tembedak, manggis dan lain-lain. Pada hepangan ini berbagai jenis tumbuhan hutan seperti berbagai jenis kayu, rotan dan lain-lain sengaja dibiarkan tumbuh. Hepangan ini warisan dari leluhur yang dititipkan kepada tunggu tubang sebagai pengelola, sedangkan kepemilikannya milik semua ahli waris dari generasi kegenerasi. Semua ahli waris akan menjaga hepangan ini dari tindakan-tindakan yang akan merusaknya. Bila ada ancaman kerusakan yang disebabkan oleh manusia termasuk oleh salah satu ahli waris maka semua ahli waris akan bertindak mencegahnya bahkan bila mungkin mengusirnya.
4. Himbe (Hutan primer)
Himbe yaitu hutan yang belum pernah dibuka atau dikelola oeh manusia .
5. Belukae (Hutan skunder)
Hutan ini menurut adat semende terdiri atas belukae mude, belukae tue
belukae mude yaitu areal/lahan yang baru mereka tinggalkan dimana pada lahan tersebut ditumbuhi oleh pohon-pohon semak/perdu. Lahan ini umumnya ditinggalkan berkisar 1- 10 tahun. Sedangkan belukae tue lahan yang ditinggalkan dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu diatas 10 tahun, sehingga telah menjadi hutan bahkan sudah seperti hutan primer. Lahan-lahan ini secara adat ditetapkan milik sipembuka pertama. Bila terjadi pelanggaran maka pelanggar akan diadili secara adat yang diberi sanksi berupa pengusiran dari lokasi tersebut.










Sudah menjadi tradisi mereka bahwa orang pertama yang membuka hutan adalah pemilik yang berhak atas lahan hutan itu. Proses pembukaan hutan diawali dengan pamitan/izin survei lokasi kepada pimpinan adat dan kemudian melakukan ritual adat. Hutan yang akan dijadikan lahan garapan dipilih pada areal-areal yang relatif datar dengan kondisi lahan yang masih subur dengan melihat warna tanah, kotoran cacing dan jenis pohon yang tumbuh diatasnya. Jenis tanah yang mereka pilih berwarna hitam hingga coklat kekuningan, kotoran cacing yang banyak menunjukan bahwa tanah tersebut subur, sementara jenis pohon yang tumbuh diatasnya berupa kayu-kayu lempung sejenis Meranti.

Pembukaan lahan ini dilakukan dengan cara berkelompok yang masing-masing masih memiliki kekerabatan dekat (keterkaitan keluarga). Sebelum melakukan pembukaan lahan terlebih dahulu mereka membagi lahan dengan cara memberi tanda batas lahan masing-masing pembagian yang mereka sebut rintis. Setelah membuat rintis mereka memulai menebangi pohon-pohon kecil (nebas).

Setelah selesai menebas untuk sementara mereka membiarkannya selama lebih kurang 3 bulan yang disebut gantung akae, maksudnya agar akar yang merambat diantara pepohonan yang mereka tebas dibiarkan lapuk terlebih dahulu. Setelah selesai proses gantung akae maka mereka melakukan penebangan terhadap pohon-pohon besar. Biasanya dalam proses penebangan mereka bergotong royong. Selesai menebang pohon-pohon besar ini, dilakukan pemotongan terhadap cabang-cabangnya yang mereka sebut meredah, lalu dilakukan proses pengeringan dengan membiarkan beberapa waktu agar pohon-pohon yang sudah ditebang menjadi kering dalam bahasa mereka ampae hebe. Ampae hebe berlangsung lebih kurang 2 sampai 3 bulan tergantung cuaca, untuk kemudian dilakukan pembakaran.

Proses pembakaran dilakukan dengan terkendali untuk mencegah kebakaran yang lebih luas, dalam kurun waktu ampae hebe mereka membuat sekat bakar yang disebut pengekasan. Pembuatan sekat bakar ini umumnya dilakukan pada sekeliling lahan dengan lebar sekat 4 depe (5 meter).

Pembakaran lokasi secara adat terlebih dahulu dilakukan ritual atau upacara jampi ayik, dimana air dengan ukuran 3 liter diberi mantera lalu dipercik-percikan pada sekeliling dengan maksud agar api tidak menyebar atau menjalar ketempat lain yang tidak diinginkan. Setelah upacara selesai maka dilakukan pembakaran lahan, pembakaran lahan ini biasanya dilakukan pagi hari atau sore hari dengan pertimbangan kelembaban udara tinggi dan hembusan angin tidak kencang. Penyulutan api dengan menggunakan musal bambu yang dimulai dari melawan arah angin, titik mata api diupayakan sebanyak mungkin maksudnya agar nyala api tidak terlalu besar.

Kegiatan selanjutnya adalah manduk. Manduk adalah membersihkan lahan dari sisa-sisa pohon yang tidak terbakar. Sisa-sisa pohon seperti cabang, ranting, pohon-pohon kayu yang ukurannya relatif kecil digunduk-gundukan lalu dibakar. Setelah beberapa hari dari proses pembersihan lahan ini dimana kodisi lahan sudah tidak hangat/panas akibat pembakaran maka kaum perempuan mulai menaburkan benih sayur-mayur seperti, cabe (Capsicum annum L) , Terong (Solanum spp.), tomat (Eugenia spp.) Timun (Cucumus sativus L), pepaya (Carica papaya) dll. Tindakan selanjutnya adalah penugalan dengan menggunakan kayu sejenis pancang yang diruncing ujungnya (tanam padi darat). Penugalan ini diawali dengan upacara Ritual Nembai Nugal. Upacara ini dimaksudkan agar padi yang ditanam dapat tumbuh dengan baik dan terbebas dari serangan hama dan penyakit. Dalam upacara ini disediakan sejenis sesajian berupa Serabi empat puluh, bubue sembilan, lemang tujuh batang, satu bumbung air, junjung dan benih-benih padi yang direndam dengan air selasih atau kemangi. Lalu baca mantera tolak bala. Selanjutnya penugalan dengan tujuh mata tugal yang diisi dengan benih padi. Setelah itu segala kegiatan dilahan tersebut diistirahatkan selama 7 hari. Kemudian kegiatan penugalan dilanjutkan hingga selesai. Dalam masa pemeliharaan tanaman padi ini biasanya digunakan untuk membuat gubuk peristirahatan.

Masa panen padi setelah padi berumur 6 bulan. Panen padi juga diawali dengan upacara ritual nembai ngetam. Sesajian ini berupa serabi 40, bubue 9, lemang 7 batang, air satu gelas. Lalu dibaca mantera dengan membakar menyan. Upacara ini diakhiri dengan menuai padi sebanyak 7 langgum (kepalan tangan).

Selesai panen padi kegiatan seterusnya munggas yaitu membersihkan batang-batang padi dari lahan. Lalu lahan tersebut ditanami dengan tanaman kebun seperti cengkeh (Eugenia aromatica), kopi (Coffea arabica), lada (Piper ninglum L.) sebagai tanaman pokok . Disamping itu juga mereka menanaman tanaman keras seperti Durian (Durio zebitinus), manggis (Garcinia mangostana), Duku (Lansium spp.), petai (Parkia speciosa), Rambutan (Nephylium lappaceum L.) dll. Tanaman buah-buahan ini mereka tanam karena mereka sadar bahwa tanaman kebun tersebut dalam waktu relatif singkat (7 – 10 tahun) tidak akan produktif lagi, dan tanaman buah-buahan akan mulai menghasilkan. Tanaman buah-buahan ini mereka sebut hepangan. Pada hepangan ini akan tumbuh berbagai jenis tumbuhan hutan seperti kayu, rotan dll. Hepangan ini akan diwariskan dari generasi kegenerasi.


1. Tunggu Tubang

Masyarakat adat suku semende lembak desa muara dua menganut adat tunggu tubang.
Dalam adat tunggu tubang tidak ada pembagian warisan. Harta warisan yang ditinggalkan secara langsung akan diturunkan dari generasi kegenerasi (harta warisan akan diwariskan pada tunggu tubang-tunggu tubang generasi selanjutnya yaitu anak perempuan tertua dari keturunan tunggu tubang) . Tunggu tubang adalah ahli waris yang mempunyai hak kelola terhadap semua harta warisan, sementara hak milik tetap pada semua ahli waris (anak-anak pewaris).

Dalam adat suku semende lembak desa muara dua, tunggu tubang adalah anak perempuan tertua, semenetara anak laki adalah jenang jurai (pemimpin keluarga). Jenang jurai ini didalam memimpin keluarga dibawah naungan dan kontrol meraje/ payung jurai (saudara laki-laki dari ibu). Persoalan-persolan keluarga dalam adat tunggu tubang ini diselesaikan melalui musyawarah angota keluarga.

Harta warisan ini secara adat tidak dapat diperjual belikan karena menurut kepercayaan mereka akan memutuskan amalan orang tua, dan akan mendapat hukuman/kutukan dari yang maha kuasa. Disamping itu harta warisan ini adalah simbol sejarah dan aset perekat atau pemersatu keluarga.


You Might Also Like :


0 komentar: